Tadabbur Alam di Tebing Keraton

Tebing keraton itu kufikir awalnya adalah sebuah tempat semacam istana raja atau kerajaan. Nyatanya tidak adanya.

Di hari libur yang kejepit, Selasa pagi di bulan September 2018 bersama Lili, Nanda, Mina, Revy, Dewi, Tyan, Heny Mar, Sukri dan Eko akhirnya bertandang ke sana.

Teringat, waktu ke tahura bersama pembimbing lalu tiba-tiba wajah kami menengadah ke atas, saat Pak Komang menunjuk satu tempat di kejauhan atas sana yang terlihat seperti gundukan batu.

‘’Itu Tebing Keraton’’, kata bapak.

Lalu saya bertanya. “Kita akan kesanakah pak?”

“Mau kesana?” Tanyanya balik.

“Mau pak”, ucap kami beberapa diantaranya.

Baca juga: Menjelajahi Taman Hutan Raya

Melihat sunrise, rencana awal kehadiran kami di sini di Tebing Keraton Bandung. Sampai pukul 6 pagi, kami masih berselisih dan tarik ulur apakah akan kemari. Padahal Sukri dan Eko, sudah berteriak dari lantai bawah pukul 4 subuh mengingatkan dan mengajak untuk kesana. Mengingatkan lewat group wa pula.

Kesal, sepertinya. Yang ditunggu-tunggu ngga turun. Jadilah, mereka dibujuk kembali untuk ikut. Kalo-kalo nanti disana kami kenapa napa.

Meski berangkatnya ada dua sesi, dan itu ngga kompak karena dikira mereka lagi cari angkot. Ternyata berangkat duluan. Yah wassalam ????

Tarif angkot pagi itu, melebihi standarnya kami, akhirnya batal naik angkot dan memilih naik transportasi online. Tiba di sana, kami diturunkan di area parkir. Untuk sampai di tempat tujuan, tak ayal kami harus menjejakkan kaki menyusuri tanjakan dan silaunya mentari pagi dan dinginnya Lembang saat itu.

Meski, beberapa gojek menawarkan jasanya, kami berfikir untuk melanjutkan perjalanan. 5 km itu dekat kok. Hayukkk jalan.

Bagi yang malas jalan kaki, tarif gojek berkisar Rp 20.000,-. Karena cuma itu satu-satunya transportasi untuk ke atas, selain mengendarai motor pribadi atau gowes.

Tebing Keraton di Bandung

Well, here we  are Tebing Keraton. Berada di dalam kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Tebing ini terletak di Kampung Ciharegem Puncak, Desa Ciburial, Bandung, Jawa Barat, Indonesia.

 

Berada depan pintu masuk Tebing Keraton
Dari atas Tebing Keraton
Bersama Lili memandang mimpi ke depan
Hamparan pohon pinus dan pemandangan kota Bandung

Mensyukuri kekuasaan Sang Pencipta, mentadabburi alam dari atas Tebing Keraton dan melihat sekeliling. Sungguh tempat ini begitu mempesona. Dari atas sini, kita bisa melihat pegunungan dan hamparan hutan pinus yang masyaallah cantiknya.

Tugu Tebing Keraton

Pagi itu, pemandangan di tebing sudah ramai dengan para pengunjung lainnya. Salah satu spot yang paling banyak ditempati adalah bagian ujung.

Selain para pengunjung yang berselfie atau wefie, ada pula komunitas pecinta burung maupun fotografi. Mengabadikan gambar dan merekam suara. Sepertinya dia sudah datang subuh saat hanya suara-suara burung saja yang terdengar. Hmmm Jawa Barat memang selalu punya daya tariknya sendiri.

Tarif untuk masuk ke tempat ini biayanya Rp 15.000/orang dan akan diberikan gelang yang bertuliskan tebing keraton. Seperti meninggalkan kenangan.

Kenangan dari Tebing Keraton

Puas mengabadikan kenangan bersama para squad, kami beranjak untuk kembali turun dan pulang. Kondisinya sama, hanya bisa berjalan kaki ataupun naik ojek atau menggunakan motor pribadi. Sebagian dari kami memilih untuk tetap berjalan kaki. Salah satu kebersamaan yang dilakukan di hari libur.

 

Berpose
With them

Lalu, di saat sudah mendekati area parkir kami bertemu dengan keluarga yang berjalan kaki bersama anak-anaknya, ada juga para orang tua yang masih dengan semangatnya mengayuh sepeda mendaki. Ngos-ngosan tentu saja.
Dan, endingnya saat yang lain masih menunggu transportasi onlinenya, kami terus berjalan kaki keluar dan disitulah rejeki tak terduaga. Sebuah mobil pick up yang lagi kosong dan habis mengantarkan ayam itu singgah, saat kami berteriak meminta tumpangan.

“Ngga masalah pak, kami senang kok”. Kata kami pada si bapak.

Saat dia bilang, ada bekas-bekas darah dan kotoran ayam.

Naik mobil pick up

Kenangan menjadi cerita diantara kami kembali. Dan sebelum kembali ke asrama, masakan padang menjadi pilihan.

Menikmati masakan padang di pinggir jalan di Dago Bandung

Berencana kemari, baiknya datang pada saat matahari akan terbit atau tenggelam. Naik ojek untuk ke atas menjadi pilihan jika tak ingin berjalan kaki dari parkiran. Di sana juga sudah tersedia warung makan. Jadi, sempatkanlah waktu Jika datang ke Bandung untuk menikmati pemandangan spektakuler ini, jauh dari bisingnya lampu kota dan kerepotan kota. Menikmati udara pagi dan kicauan burung.

And the end, video yang dibuat oleh teman Sukri menjadi cerita perjalanan kami pagi itu.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *